Usai Diguyur Air – Gunungkidul bukan hanya di kenal dengan pesona alamnya, tapi kini menjadi saksi dari drama publik yang memalukan. Seorang lurah, yang seharusnya jadi simbol wibawa dan kepemimpinan di tingkat desa, di guyur air oleh seorang debt collector (DC) di hadapan masyarakat. Bukan hanya basah kuyup secara fisik, tapi juga secara martabat. Insiden ini terjadi di siang bolong, di depan mata warga yang kebingungan antara harus tertawa, marah, atau justru memvideokan.
Pelaku—yang mengaku sebagai penagih utang—dengan sengaja menyiramkan seember air ke tubuh sang lurah. Alasannya? Karena si lurah di anggap tidak kooperatif saat di datangi untuk urusan penagihan. Pertanyaannya: sejak kapan penyelesaian utang-piutang di lakukan dengan aksi tidak bermartabat seperti itu? Dan yang lebih mengkhawatirkan: apakah ini potret kekacauan moral di lapangan, saat hukum dan etika di kalahkan oleh arogansi jalanan?
Arogansi Debt Collector yang Sudah di Titik Didih
Fenomena debt collector sudah lama menjadi masalah sosial yang mengganggu. Gaya-gaya premanisme, intimidasi verbal, hingga kekerasan fisik seringkali menjadi “metode” mereka dalam bekerja. Tapi kali ini, DC tersebut naik level: menyerang figur pemerintah secara terbuka. Ini bukan sekadar penghinaan personal, tapi pelecehan terhadap institusi.
Masalahnya jelas: siapa yang memberi mereka kuasa untuk bertindak sewenang-wenang? Apakah negara begitu lemah hingga membiarkan “penegakan hukum ala jalanan” menjadi hal yang biasa? Jika lurah saja bisa di permalukan seperti itu, bagaimana nasib rakyat biasa yang tak punya jabatan dan kekuasaan? Ini bukan cuma masalah individu, ini cermin keroposnya sistem hukum dan pengawasan terhadap praktik bonus new member 100.
Respons Lurah: Tak Terima Dipermalukan, Siap Tempuh Jalur Hukum
Lurah yang menjadi korban dalam kejadian ini tidak tinggal diam. Ia menyatakan akan melaporkan insiden ini ke pihak berwajib. Bukan hanya untuk menuntut keadilan bagi dirinya, tapi untuk memberi pesan tegas bahwa tindakan brutal tidak bisa di biarkan tumbuh subur di masyarakat.
Dengan nada tegas, sang lurah menyampaikan bahwa harga dirinya telah di injak. Ia merasa di lecehkan, tidak hanya sebagai individu, tapi sebagai wakil pemerintah yang tengah menjalankan tugas. Ia menuntut proses hukum berjalan, tidak hanya sebagai bentuk pembalasan, tapi juga agar tidak ada lagi warga yang menjadi korban aksi serupa.
Publik Terbelah: Antara Dendam Sosial dan Rasa Hormat yang Hilang
Reaksi publik terhadap insiden ini pun memanas. Ada yang membela lurah, menyayangkan tindakan brutal si DC, dan menuntut aparat bertindak tegas. Namun ada juga yang sinis, menyindir bahwa perlakuan tersebut adalah bentuk “karma sosial” bagi para pejabat yang di anggap jauh dari rakyat.
Sikap skeptis ini menunjukkan betapa retaknya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah, bahkan di level desa. Banyak yang merasa lurah atau aparat lainnya hanya muncul saat pemilu, tapi menghilang ketika rakyat membutuhkan. Dalam konteks ini, tindakan DC—meskipun tetap salah secara hukum—menjadi simbol perlawanan sosial yang, sayangnya, di ekspresikan dengan cara yang salah.
Media Sosial Jadi Ajang Pengadilan Alternatif
Tak butuh waktu lama, video insiden ini menyebar luas di berbagai platform media sosial. Tiktok, Instagram, hingga Twitter di banjiri komentar pedas, meme, dan video reaksi. Lurah jadi bahan olokan, DC jadi “pahlawan instan”, dan masyarakat jadi hakim yang menilai dari potongan video semata.
Inilah wajah masyarakat digital hari ini: cepat menilai, lambat memahami. Isu hukum berubah jadi hiburan. Peristiwa nyata menjadi tontonan yang di pakai untuk meluapkan emosi kolektif. Tapi apakah semua itu membawa penyelesaian? Atau hanya memperkeruh suasana?
Negara, Di Mana Kau Saat Wibawa Hancur?
Kejadian ini harusnya jadi alarm keras bagi institusi hukum dan pemerintah daerah. Jika figur resmi pemerintahan bisa di permalukan di depan umum dan tidak ada tindakan cepat, maka jangan heran jika masyarakat semakin merasa bahwa negara tidak hadir. Bahwa hukum bisa di gantikan oleh ember air, dan rasa malu lebih efektif daripada panggilan resmi.
Wonosobo, atau lebih tepatnya Indonesia, sedang di uji: apakah kita masih bangsa yang menjunjung adab dalam menyelesaikan konflik, ataukah telah menjadi masyarakat yang menjadikan pelecehan sebagai tontonan yang sah?